Kamis, 11 September 2008

Jongkok di Atas Kloset Duduk


Untuk menghadiri malam penghargaan Kontes Iklan Pemilu, saya tidak seheboh seperti saat pertama kali meghadiri malam penghargaan FFII. Berangkat santai ke Bandung tanpa persiapan kostum khusus, cukup t-shirt standar, celana jeans hitam, dan sepatu kets. Tapi hasilnya saya malah ditegur sama teman 1 tim, mereka bilang kok sutradaranya kucel plus kampung gini ya gayanya? Beuuhh, heboh salah, ga heboh juga lebih salah lagi... Akhirnya sebelum masuk di kamar hotel saya pun dipermak dan ditatar abis-abisan oleh teman 1 tim. Rambut saya dibuat stylish, pakai kemeja pinjaman, dipadu dengan celana model ‘cut-bray’ yang pinjeman juga, dan sepatu kulit yang juga pinjeman. (Hmmm.... kasus serba pinjeman terulang kembali, tapi keren juga sih.)

Di hotel saya dipertemukan dengan 5 orang finalis lainnya. Kami pun mulai berkenalan satu sama lain dan pertanyaan wajib mereka adalah : “Kuliah dimana? Ambil jurusan apa?”. Jawabannya pun beragam, “-Gue kuliah di desain grafis-, -aku di broadcasting-, -urang keur kuliah di seni rupa-, -kulo teng institut seni-, kalo mas’e kuliah dimana?”. Heh?! Kaget juga pas ditanya seperti itu karena tempat kuliah saya bener-bener ga nyambung dengan semua hal ini. “Oh,eh,hmmm.... saya kuliah di salah satu perguruan tinggi kedinasan milik pemerintah, jurusan akuntansi”, dan semua mata pun memandang tajam ke arah saya.

Beuuuhh, keringat dinginlah saya, pasti mereka semua berpikir kok kamu bisa ada disini? Ga salah jalan mas?. Namun ternyata tanggapan yang saya terima justru kebalikannya mereka salut dengan saya yang udah bisa ada di situ. Mereka melemparkan bertubi-tubi pertanyaan tentang kenapa kok saya mau terjun ke dunia ini. Mereka semua kagum dengan saya, agak ge’er juga nih, hidung saya pun kembang kempis. Jadi pada saat itu saya ga dianggap sebagai saingan utama mereka dalam ajang ini.

Malam itu adalah malam pertama dalam hidup saya menginap di sebuah hotel. Tidur di atas kasur ‘spring-bed’, di dalam ruangan ber-AC yang bikin seluruh tubuh menggigil, dan dengan fasilitas kamar mandi yang saya belum terbiasa menggunakannya. Khusus tentang kamar mandinya, saya dipertemukan dengan salah satu alat yang dari dulu saya hindari, kloset duduk! Damn it! Saya paling tidak bisa memakai closet duduk karena memang dari kecil sudah terbiasa menggunakan kloset jongkok. Jadi yang ada adalah saya improvisasi dengan memakai posisi jongkok di atas kloset duduk sambil mata melihat curiga ke sudut-sudut kamar mandi, siapa tahu ada kamera tersembunyinya. Kalo ketauan saya menggunakan posisi yang tidak seharusnya kan malunya bisa 7 turunan ga ilang-ilang!! Asiknya saya menemukan bak mandi aneh yang bentuknya memanjang dan bisa diisi air sehingga nampak seperti kolam renang seukuran tubuh, pokoknya saya seperti Kabayan yang baru masuk kota deh.. (belakangan saya baru tau kalo itu ternyata adalah 'bathtub' dan itu bukanlah benda yang aneh, saya aja yang aneh yang baru tau ada benda kaya gituan -hahaha-). Dan saya juga baru tau ternyata kunci kamar hotel bentuknya seperti kartu, dan saya menyebutnya dengan kartu ajaib karena bisa dipakai juga buat menghidupkan lampu dan AC kamar. (kurang kampungan apalagi ya saya??)

Pesan Moral : There's always a first time for everything, right?

Publikasi Labirin Pemilu

Hasil pencarian di om Google tentang publikasi hasil kontes iklan layanan masyarakat Pemilu 2004 saya dapatkan seperti ini. Ya lumayanlah buat sedikit bangga-bangga-an nanti ke anak cucu, hahahaha..
Oya, sekedar informasi, nama saya yang tercantum di KTP yang udah kadaluarsa yang selalu saya bawa di dompet buat menuh-menuhin isinya adalah Irwan Hermawan. Jadi nama Inank adalah nama panggilan temen-temen ke saya dari jaman SMP dulu dan keterusan sampe sekarang. Tapi saya selalu bilang kalo nulis di phonebook hape tulisan inank-nya pake 'K' ya (inanK), bkn 'G' (inanG).

Tegal, Sinar Harapan

Kartun karya awak rumah produksi animasi ”Tegal Cartoon” (Tetoon) Tegal, Jawa Tengah, masuk nominasi lima besar, bentuk Iklan Layanan Masyarakat (ILM) bertema Pemilu 2004.
”Politisi Busuk”, demikian judul karya tersebut, menurut pimpinan Tetoon, Agus Wijanarko, sengaja dipilih karena memang selain sedang menjadi pemberitaan aktual, juga sebagai bentuk konkret kepedulian Tetoon untuk mengajak masyarakat Indonesia agar tidak memilih para politisi busuk yang berimplikasi kepada busuknya bangsa ini. 
”Kami tidak menyangka, karya ”anak kampung Tetoon” dapat menyisihkan 101 peserta lainnya, yang tentu saja dari kota besar dengan peralatan yang mungkin saja jauh lebih bagus dari yang kami miliki,”ujar pimpinan Tegal Cartoon Agus Wijanarko, Kamis (11/3). Karya ”Tetoon” tersebut lolos dalam penyeleksian yang ketat oleh juri berpengalaman dalam bidang periklanan dan film. Dekorasi yang bernuansa pedesaan, lengkap dengan sebuah saung dan kandang burung, membuat suasana acara festival terasa akrab dengan khalayak yang memenuhi GSG ITB tersebut. 
Menurut seorang panitia, kegiatan Festival Iklan Layanan Masyarakat Pemilu 2004 itu merupakan suatu bentuk kepedulian terhadap kondisi bangsa Indonesia yang akan menyelenggarakan pemilu. Festival melombakan dua kategori, mahasiswa dan umum. 
Total peserta 101 karya. Karya-karya tersebut diseleksi dewan juri hingga tersisa 20 nominasi yang terdiri dari 10 nominasi kategori mahasiswa dan 10 nominasi untuk kategori umum. Setelah memasuki tahap penjurian yang dinilai pada tanggal 5 Maret 2004, terpilih 5 nominasi untuk umum dan 5 nominasi untuk mahasiswa. ''Nah kami masuk nominasi 5 tersebut,'' papar Agus. 
Namun akhirnya ditentukan juara I kategori mahasiswa diraih oleh Mardegani Dunianto (Yogyakarta) dengan judul "The Box", peringkat II Irwan Hermawan (Cirebon) dengan judul "Labirin Pemilu", dan peringkat III oleh Sandru Prapanca (FSRD ITB) dengan judul "Nyoblos Sehari-hari". Juara I kategori umum diraih Hidayat Priyo Nugroho (Wonogiri) dengan judul "Burung Kecil", peringkat II oleh Shandy Yudi Harto (Surabaya) dengan judul iklan "Money Politic Jangan Ikut", dan peringkat III diraih Hendrajat (Jakarta) dengan judul "Ibu Menampi Beras". 
Semua iklan layanan masyarakat itu berdurasi sekitar 30 detik. Salah seorang juri yang juga praktisi film senior Indonesia, Garin Nugroho, menilai hasil-hasil karya anak-anak muda Indonesia dalam gelaran tersebut sangat bagus dan lain dari yang lain. "Kalau dilihat, karya-karya itu banyak lebih bagus dari karya-karya televisi, baik dari sisi animasi, ide, dan teknik pengambilan gambar," kata Garin dalam acara tersebut. 
Ketika ditanya adakah penghargaan yang diterima Tetoon karena karyanya masuk nominasi 5 besar? Agus menjawab panitia hanya menyediakan hadiah sampai juara tiga. Namun jika iklan tersebut nantinya di putar oleh stasiun TV maka akan mendapatkan royalti. (alr)”
(sumber ---> http://www.sinarharapan.co.id/berita/0403/12/nas05.html)



Rabu, 10 September 2008

Labirin Pemilu

Berangkat dari dari masterpiece film pertama De-Choice dalam Sukro Berdarah yang telah memenangkan beberapa penghargaan dari tingkat RT/RW hingga nasional (--hanya untuk menghibur diri, jangan dianggap serius--), saya beralih ke sebuah kontes pembuatan iklan Pemilu tahun 2004 yang diselenggarakan oleh ITB dan SCTV. Belakangan kemudian saya baru tahu ternyata dewan juri utama dari kontes tersebut adalah Garin Nugroho, sutradara favorit saya.

Saya berpikir keras ide apa yang harus saya keluarkan untuk membuat iklan berdurasi 30 detik ini. Saya kerahkan semua saraf-saraf simpati dan parasimpati yang ada di otak kanan untuk mendapatkan ide yang brilian. Berjam-jam saya bertapa sendiri mencari ilham, namun tak ketemu jua. Akhirnya saya pun menuju tempat favorit saya dalam mencari inspirasi. Yups, kamar mandi!! Sudah menjadi kebiasaan saya dari SMA untuk mencari inspirasi pada saat buang air besar di kamar mandi. Bahkan dulu tiap mau ulangan mata pelajaran yang penting, saya selalu membawa buku cetak, buku coretan dan pensil ke kamar mandi. Hasilnya pun memuaskan!! Percayalah, kamar mandi dan momen saat kita buang air besar adalah salah satu tempat terbaik dalam mencari inspirasi. Logikanya gini, pada saat kita melakukan ritual wajib harian tersebut kan ada sesuatu yang dikeluarkan dari dalam tubuh kita, nah ternyata tubuh kita pun secara alami akan mencari penggantinya agar tetap stabil antara pemasukan dan pengeluaran. Nah, jadinya enzim-enzim di dalam tubuh kita akan mencari asupan materi yang nyata ataupun imajiner di sekitar kita. Jadilah semua hafalan pelajaran, rumus-rumus, bahkan ide-ide yang tadinya beterbangan di sekitar kita akan dengan mudahnya tertangkap oleh sistem imajiner tubuh. Paham adik-adik? --hahahaha-- (hasil penelitian yang ga jelas dari pengalaman bertahun-tahun ketika ‘stuck’ dalam mencari ide).

Dari pertapaan khusus ini lahirlah sebuah ide dan konsep brilian untuk sebuah iklan pemilu yang berdurasi 30 detik ini. Tokoh utama dari iklan ini adalah seorang, eh maksud saya seekor hamster/tikus kota yang berjalan memasuki lorong labirin. Namun sebelum masuk si hamster dibingungkan dengan banyaknya jumlah pintu dengan lambang yang berbeda-beda. Pintu keluar labirin tersebut hanya ada satu. Filosofi dari iklan ini adalah meskipun banyaknya jumlah partai pada saat itu namun tujuan utamanya adalah satu, untuk kemajuan bangsa Indonesia. Labirin ini saya dan tim membuatnya dari karton, ditambah dengan sedikit teknik kolase untuk membuat efek matahari terbit di ujung pintu keluar labirin.

Waktu suting yang dihabiskan untuk membuat iklan ini adalah 3 hari. Semua properti sudah disiapkan. Tinggal melatih sang bintang utama agar mau menuruti skenario yang telah ditetapkan, dan disinilah letak permasalahnnya. Ternyata jauh lebih sulit mengatur hewan daripada manusia. Apalagi hewan segesit dan selincah hamster. Jadinya kami semua dibuat kalang kabut dengan tingkah laku si hamster. Semua jenis makanan pemancing sudah kami gunakan, bahkan yang menurut film Tom ‘n Jerry makanan kesukaan tikus (baca:hamster) adalah keju pun sudah kami pasang di sepanjang jalur yang kami inginkan agar si hamster melewatinya. Namun semuanya sia-sia, kami hampir saja dibuat putus semangat oleh kelakuan si hamster. Sampai akhirnya saya putuskan untuk menuruti saja kemauan si hamster ini kemana. Ajaib!! Ternyata si hamster hanya mau melalui jalan yang sebelumnya sudah dia lewati saja. Maka skenario pun kami ubah dengan cara menuruti apa maunya si hamster.

Lokasi suting dilakukan di rumah salah satu anggota tim AMPFI, tepatnya di ruang tengah yang kami sulap dadakan menjadi studio suting dengan menggunakan 2 buah lampu neon panjang sebagai penerangan utama. Kami belum memiliki tripod kamera pada saat itu sehingga pada saat pengambilan gambar ‘eye-bird view’ si kameramen mengangkat tinggi-tinggi tangannya agar dapat mengambil keseluruhan bentuk dari labirin tersebut. Walhasil, gambar menjadi goyang-goyang mengikuti ritme dan irama nafas sang kameramen. Tapi untung saja, sang editor kita mampu mengatasi masalah tersebut dengan menggunakan software editing. Sang editor memerlukan waktu 7 hari untuk mengedit secara sempurna iklan berdurasi 30 detik ini. Sekarang tiba saatnya preview hasil editan pertama atau kami biasa menyebutnya dengan gala premiere, eng-ing-eng.....

Seperti biasa saya tetap terharu dan meneteskan air mata, ada kepuasan batin yang luar biasa yang saya rasakan pada momen seperti ini. Semua kelelahan kami pada saat suting terbayar sudah. Fuiihh... Kemudian hasil karya kami pun dibungkus rapih dan dikirimkan ke panitia penerimaan hasil karya di ITB. Kami menyerahkan hasil karya tersebut persis sebelum penutupan. Fuiih, untung saja karya kami diterima. Ternyata sudah ada ratusan karya yang masuk dari seluruh Indonesia. Wah, kami pun mulai pesimis dan mulai tidak pernah berani berpikir untuk menjadi pemenang. Akhirnya kami pun sepakat untuk melupakan dan anggaplah iklan itu sebagai latihan kami untuk mempererat kekompakan tim.

Dua minggu kemudian tiba-tiba saya ditelepon oleh salah seorang panitia Kontes Iklan Pemilu tersebut, dan karya saya dinyatakan masuk ke dalam 6 besar nominasi dan saya harus berangkat ke Bandung keesokan harinya untuk menghadiri malam penganugerahannya. Saya sempat terkejut dan tidak percaya, bahkan saya sempat berkata kepada penelepon tadi, “Ah bohong, masa sih?! Ini Goen kan? Ato Heli? Jangan suka ngerjain orang ah, dosa...” (Goen adalah asisten sutradara dan Heli adalah editor kami). Tapi ternyata sang penelepon mengkonfirmasi sekaligus meyakinkan bahwa dia adalah panitia sungguhan, dan saya pun ‘freeze breathing’ sampai sempat membuat dada saya sedikit sesak. Saya langsung menghubungi semua anggota tim dan mereka pun seolah-olah tak percaya. Wuhaaaaaaaa......... 
Dan akhirnya Labirin Pemilu pun menjadi juara 2 nasional untuk kategori mahasiswa. Kami semua bersyukur dan memutuskan untuk lebih serius lagi dalam berkarir di bidang ini.
(Special memmories : I was in the point of trying myself to be 'out of the box')

Darah-Darah Cinta

Udah sering denger kan kisah cinta lokasi ala artis-artis terkenal? Atau sekarang yang lagi naik daun adalah kisa cinta lokasinya Hanung Bramantyo dengan Zaskia Mecca. Ternyata hal itu juga saya alami dalam proses pembuatan film Sukro Berdarah. Jadi ga harus sutradara terkenal saja yang bisa terlibat dalam cinta lokasi, sutradara sekelas saya pun bisa mengalaminya. Kan konsep utama dari cinta adalah menyerang siapapun, kapanpun dan dimanapun? –hahaha—

Dari pertama kali brainstorming ide sih sebenarnya saya udah mulai ada rasa tertarik sama gadis cantik yang satu ini. Salah satu trik yang saya gunakan untuk bisa dapetin nomer hapenya adalah dengan menggunakan senioritas yang dibalut dengan sedikit sentuhan posisi saya sebagai sutradara. Jadi saya meminta kepada semua anak-anak teater itu untuk menuliskan nomer hapenya di selembar kertas agar nanti gampang untuk dihubungi bila dibutuhkan sewaktu-waktu. Kalo ada yang tidak mencantumkan nomer hape akan langsung dicoret namanya dari tim produksi karena dianggap menghambat kinerja. Akhirnya saya dapatkanlah kertas yang berisi daftar nama anak-anak tersebut beserta nomer hapenya. Ah, peduli setan dengan nomer hape yang lain, mataku langsung membidik nama gadis cantik tersebut dan mulai mencatat nomer hapenya di hape saya, dan cerita pun berlanjut via teknologi ‘short message service’ –hehehe— (licik kan saya,wkekekekek....)

Hai, kamu D***A ya?” (nama sengaja dirahasiakan supaya ga banyak yang tau, nanti bisa terkenal dia, terus kalo udah terkenal nanti jadi artis, terus nanti saya ditinggalin -hiks-hiks-). Dia pun membalas sms saya, “Iya, ini siapa yah?” – “Hayo coba tebak, saya akan sering kamu lihat beberapa hari ke depan di sekolah sebagai seorang sutradara film indie yang akan kamu garap”. (Sumpah ini sih bukan petunjuk, tapi udah bener-bener kasi tau jati diri, daripada dia kelamaan capek mikir plus penasaran plus buang-buang pulsa, ya kan?). “Pasti ini Inank ya?” – “Iya betul! Kamu pinter banget deh.. Oya, kamu lagi apa nih?”, dan cerita pe-de-ka-te pun berlanjut. Tapi selidik punya selidik ternyata dia udah punya cowok, hiks, hancur hatiku mengenang dikau (cuplikan lagu Bunga Terakhir-nya Bebi Romeo). Tapi saya punya prinsip selama janur kuning belum tertancap, maka dia masih bebas, berarti masih ada kesempatan beberapa hari ke depan.

Gadis cantik ini ternyata mukanya berkarakter sebagai gadis yang akan menjadi korban dalam film ini, makanya tanpa banyak cingcong langsung aja saya pulih dia menajdi pemeran si korban. Ada suatu adegan dimana si korban mengeluarkan darah dari tenggorokannya akibat ledakan natrium di dalam sukro itu (disinilah judul Sukro Berdarah diambil), nah adegan itu harus diambil berkali-kali karena si korban selalu tidak pas aktingnya. Alasannya sih katanya darah buatannya ga enak, ya ada benernya juga sih, bayangin deh Fanta dicampur dengan pewarna merah agar warnanya terlihat merah pekat, rasanya pasti ga karuan kan? Kasian juga dia, makanya saya selalu siap di sampingnya siapa tau dia muntah beneran, dan emang bener kejadian dia muntah beneran! Saya pun langsung menolongnya dan mengantarnya ke wastafel terdekat dan memberikan sapu tangan saya untuk membersihkan bibirnya yang merah. “Nank, sapu tanganmu jadi merah gini, aku bawa pulang ya mau ta cuci dulu”. – “Oh iya ga pa pa, aku masih punya banyak sapu tangan kok di rumah”, dan sapu tangan itu menjadi perekat antara saya dan dia.

Usaha demi usaha dilakuin segencar mungkin untuk ngedapetin dia, dan akhirnya dia berada di ujung kebingungan antar harus memilih tetap jalan dengan pacarnya atau memilih saya. Dia berkata, nama saya udah tergoreh di hatinya. Wuahhhhh, kesempatan emas nih, langsung aja saya bilang, “Ikuti apa kata hati kamu babe....”. YES!! Akhirnya saya jadian juga dengan dia.. Benar-benar kisah cinta lokasi yang terukir di dalam hati saya. (Miss you and love you always babe...). *for someone who always keep her heart just for me,thanks babe..*

Pesan moral : jangan pernah menyerah untuk mendapatkan seseorang sebelum janur kuning melengkung, dia masih bebas,--hahahaha--


Selasa, 09 September 2008

Sukro Berdarah

Berhubung pada saat SMA saya mengambil jurusan IPA yang penuh dengan sains-sains terapan, jadi ide yang keluar untuk proyek film pertama ini ada hubungannya dengan sains juga. Dari judulnya sih ga bakal keliatan hubungannya antara sains dengan sukro, “Sukro Berdarah” (definisi : Sukro = kacang yang dilapisi dengan tepung dan dapat dibeli di seluruh toko-toko di pinggir jalan dan menjadi teman akrab para begadangers untuk diminum bersama dengan kopi). Ide intinya adalah kisah tentang 6 orang sahabat yang memiliki tim detektif sekolah dengan nama De-CHOICE yang menyelidiki kematian salah seorang murid di sekolah tersebut. CHOICE merupakan kependekan dari huruf pertama dari nama mereka masing-masing. Waktu suting film ini memakan waktu 4 hari dan total biayanya sekitar 100 ribuan lah, minim banget kan?

Film ini adalah karya pertama saya yang bermodalkan kenekatan dan semangat untuk menjadi seorang sutradara otodidak. Ide utama film ini adalah seorang siswi yang dibunuh -oya, mengenai pemeran si siswi ini saya punya cerita khusus nanti- oleh sahabatnya dengan cara mengganti isi kacang sukro dengan natrium. For your info, berdasarkan uji coba bahan kimia sewaktu saya di SMA, natrium akan meledak ketika bertemu dengan H2O (air). Jadi idenya si natrium itu dimasukkin ke dalam sukro dan setelah sukro tertelan maka sedikit demi sedikit lapisan luarnya meleleh dan akan meledak di tenggorokan korban. Nah, bingung kan? Ya sebenernya setelah dipikir-pikir sekarang ga masuk akal juga sih, tapi entah kenapa kok dulu ide tersebut terasa sangat 'advanced' n unik ya? --hahahaha--.Maklum baru pertama kali bikin film dan itu pun tanpa punya latar belakang mengenai sinematografi dan sejenisnya. Lucunya, pas mau ambil adegan yang mengharuskan si kamera ini berjalan, saya menggunakan bantuan kursi kantin yang terbuat dari kayu. Si kameramen duduk di atas kursi ini terus saya dan teman-teman yang lain menariknya perlahan-lahan supaya dihasilkan efek 'moving camera'. Malah yang ada hanya suara ngesot kursi kayu ditambah tangkapan gambar yang patah mengikuti irama esotan kursi kayu itu, parah, terpaksa harus take ulang deh.. --hahaha--. Kenapa ya ga nyari kursi yang ada rodanya?? Jadi kan gerakannya bisa lebih smooth 'n ga da bunyi ngek-ngek.

Ada kejadian lucu lagi, karena sang kameramen udah harus balik lagi ke Jogja, jadi suting yang rencananya 5 hari dipangkas jadi 4 hari. Semua adegan di hari ke-5 digabung di hari ke-4. Walhasil, ada adegan yang harusnya diambil di siang hari, tapi karena udah keburu malam, mau ga mau alur cerita harus diubah saat itu juga. Akhirnya cerita yang harusnya siang hari diubah menjadi pagi hari. Pura-puranya jam 5 pagi tuh anak-anak CHOICE udah pada ngumpul di sekolah untuk menyelesaikan penyelidikan mereka. (tapi kok jam 5 pagi ada suara jangkrik gitu ya? bukannya ayam jago berkokok?). Selesai suting untuk adegan tersebut jam 9an malam.

Yang lebih seru lagi pas tahap pasca produksi, disini AMPFI belum punya seorang editor, akhirnya film harus diedit di Surabaya. Kenapa Surabaya? Jadi gini, karena saya masih buta mengenai dunia perfilman akhirnya saya minta bantuan saudara saya yang di Surabaya yang kebetulan adalah seorang kameramen TVRI Surabaya, jadi dia punya banyak kenalan editor. Siapa tau bisa dapet harga lebih murah gitu loh... Dan, eng-ing-eng, saya pun dibawa menuju ke seorang editor film, eh bukan editor acara pernikahan. What?! Yups, film saya diedit di tempat orang biasa mengedit acara pernikahan. Pada mulanya saya pikir akan keren hasilnya, tapi ternyata, ya lumayanlah standar orang edit video pernikahan. Dan akhirnya saat yang dinantikan tiba, gala premiere film indie De-Choice (Sukro Berdarah) --> kaya film jaman dulu ya judulnya? Maklum pengalaman pertama tanpa latar belakang perfilman (mencari pembelaan,hahaha).

Pertama kali melihat preview hasil editan film pertama saya bener-bener ngerasa terharu bahkan sampai menitikkan air mata. Rasanya detik demi detik dari film tersebut adalah masterpiece yang keluar dari aura semangat dan jiwa pantang menyerah segenap tim. Bayangkan kita buat film tapi ga punya kamera, ga punya modal, dan tetek bengek lainnya. Modal dengkul dan semangat serta perasan kreatifitas otak kanan. Film pertama saya berdurasi 30 menit-an. Terlepas dari ide cerita dan hal teknis lainnya, yang bisa saya rasakan disini adalah semangat tak kenal menyerah. Dimana ada kemauan disitu ada jalan.

Suatu saat di kampus saya ada kegiatan yang agak sedikit kreatif, yaitu Festival Film Sehari. Konsepnya nonton beberapa film indie hasil kiriman mahasiswanya dan film layar lebar berjudul "Andai Ia Tahu" dan "Telegram". Nah berhubung disitu ada bau-bau film indie, akhirnya saya mengirimkan De-Choice. Di dalam benak saya akan ada beberapa film indie lainnya jadi saya bisa tukar menukar ilmu, tapi ternyata hanya ada 2 film indie yang masuk dan film indie saya yang paling banyak dikomentari oleh tamu undangan sekaligus pembicara yang berasal dari IKJ. Komentar mereka : " Film pertama kamu ya?" - "Ini ngeditnya di tempat video shooting pernikahan ya?" - bahkan yang lebih parah "Kamu suka telenovela sama film india ya?" --gubrak-- (ketauan deh saya penggemar beratnya Thalia si Maria Mercedes sama Kuch Kuch Hota Hai). Pokoknya semua koreksi, cercaan, dan hinaan yang saya dapat hari itu benar-benar membuat saya untuk mencambuk diri saya lebih kuat lagi!! Pembelaan saya : yaiyalah mereka jago bikin film kan mereka kuliah di IKJ, lah saya kuliah di tempat yang ga da hubungannya sama sekali dengan dunia film.

Belum selesai sampai disitu cerita film pertama saya, dengan penuh keyakinan dan percaya diri, saya ikut sertakan De-Choice di Festival Film Independen Indonesia di SCTV tahun 2003. Pas isi formulir tertulis : Kategori Film (a.Pemula ; b.Profesional). Dengan penuh percaya diri, saya pilih b.Profesional. Alasannya cuma simpel, kalo nanti kalah kan saya kalah terhormat. Kalah di kelas profesional, ya kan? --hahahaha--

Suatu hari kemudian, saya mendapatkan undangan untuk menghadiri malam penganugerahan nominasi FFII 2003 di daerah Gajah Mada-Jakarta. Busyeeettt, seneeeennggnya minta ampuuun!!! (^_^). Sampe di kamar kosan saya loncat-loncatan sama sahabat saya di kosan. Kita berdua jadi HERI (heboh sendiri), sampe anak kosan lain kaget dikira ada apaan. Malahan anak kosan lain pikir saya adalah salah satu pemenangnya, padahal sih boro-boro, diundang ke acara penganugerahannya aja udah seneng banget. Sampe saya berdua sama sahabat saya pergi beli baju khusus untuk datang ke acara itu. Saya beli vest warna biru dongker dipadu dengan kemeja kotak-kotak biru. Mantab kan?! Sepatu pinjem, celana pinjem, ikat pinggang jg pinjem, parfum minta, pokoknya saya harus tampil perfect di acara itu (padahal kan ga menang sama sekali --hahaha--). Sampai di venue, kita berdua isi buku registrasi dan disuruh masuk ke dalam. Di depan ngeliat Rachel Maryam, Christine Hakim, Didi Petet, dan juri lainnya. Sempet diem sebentar tuh, apalagi waktu itu kan si Rachel belum nikah jadi masih boleh lah berharap melirik padaku.

Dan aksi HERI pun terjadi lagi malam itu, berhubung itu acaranya siaran langsung di SCTV jadi saya hubungi semua keluarga yang punya TV untuk liat acara itu. Jadi hampir dari setengah acara itu isinya saya terima telpon mulu dari sanak sodara yang nanyain kapan saya naik ke atas panggung. Padahal dah dibilangin saya cuma duduk di kursi penonton, tetep maksa supaya saya berdiri jadi biar mereka bisa ngeliat saya masuk tipi. Kejadian deh, saya berdiri 'n coba untuk curi-curi kamera sedikit. Sampe ada kru dari SCTV yang bilang supaya saya duduk dengan tenang dan ujung-ujungnya malahan saya dikira banci kamera. --hahahaha-- (nice memory,wasn't it? I miss that momment and I miss my bestfriend).

AMPFI Story

AMPFI adalah tim kreatif yang saya bentuk untuk memenuhi dahaga akan kebutuhan gizi otak kanan yang mulai tumpul dengan keteraturan klerikal. AMPFI adalah singkatan dari Angkatan Muda Pembuat Film Independen. Ide awalnya sih sebenarnya untuk membuat AMPFI menjadi suatu organisasi anak-anak muda yang bergelut dalam bidang film independen. AMPFI pada awalnya hanya beranggotakan 2 orang saja, yaitu saya dan sahabat saya yang tingal di Bandung. Namun saya dan sahabat saya itu pun mulai memperlebar jaringan untuk mencari teman-teman yang memilki visi dan misi yang sama. Sebenarnya sih lebih bertujuan untuk mencari orang-orang yang punya ide nyeleneh tapi tidak tersalurkan dan orang yang bisa mengedit karya yang nanti akan kami buat, karena jujur saja kami berdua benar-benar tidak mempunyai latar belakang pendidikan mengenai sinematografi. Modal kami berdua saat itu hanyalah keyakinan dan semangat yang menggebu-gebu akan pemenuhan gizi terhadap otak kanan kita masing-masing dan membuat film indie-lah yang kami pikir pada saat itu dapat memberikan asupan gizi yang cukup. Ampfi terbentuk pada akhir tahun 2002 sebelum fenomena film indie mulai menjadi trendsetter tahun-tahun belakangan ini.

Banyak suka duka yang saya alami bersama tim AMPFI. Kuliah yang memakan waktu Senin – Jumat tidak menjadi halangan bagi kami untuk berkreatifitas. Biasanya pada saat ‘brainstorming’ ide kami kumpul di Bandung hari Sabtu - Minggu. Saya berangakat ke Bandung naik kereta terakhir Jumat sore dan kembali lagi ke Jakarta naik kereta terakhir Minggu sore. ‘Brainstorming’ ide biasanya dilakukan hari Sabtu pagi dari jam 9 sampai dengan..... sampai dengan diusir dari tempatnya –-hahahaha--. Tempat yang biasanya kami incar adalah tempat dengan budget murah, enak, nyaman, dan bisa duduk sepuasnya. Tempat favorit kami adalah Mc.Donald Bandung Indah Plaza. Cukup dengan modal 5.000 rupiah kami dapat duduk sepuasnya. Biasanya saya membeli Mc.Flurry dengan taburan coklat serbuk diatasnya daripada taburan permen coklat. Disantapnya pun perlahan-lahan supaya kalo tempat duduknya penuh orang-orang ga berani mengusir kami dengan alasan makanan kami masih belum habis, bahkan pernah sampai ga sadar Mc.Flurry-nya udah mencair seperti susu kental manis gara-gara keasikan mengkonsep suatu ide cerita film –-hahahaha--

Film Indie=Film India
Proyek pertama AMPFI adalah menggarap film independen di salah satu SMA favorit di Cirebon dengan ‘talent’ anak-anak teater sekolah tersebut. Tujuannya memakai ‘talent’ anak-anak teater itu adalah untuk memangkas budget yang timbul, tanpa dibayar dan mereka bisa punya pengalaman menjadi bintang film, meskipun film indie. Lucunya pertama kali kami bertemu mereka, bayangan mereka tentang film indie adalah film dengan banyaknya lagu dan tarian dengan adegan menangis dalam tiap suasana sedih-gembira-berduka-kawin,dsb. Ternyata di dalam benak terdalam mereka film indie adalah film india –gubrak--.

‘Brainstorming’ ide bersama anak-anak teater tersebut dilakukan tiap hari Sabtu karena hanya hari Sabtu inilah tim AMPFI bisa berkumpul. Suasana ceria, semangat, dan inovatif selalu saya dapatkan bersama mereka. Suasana yang ga bisa didapatkan pada saat saya di kampus. Bahkan biasanya pas lagi ngumpul gini banyak ide-ide baru yang terlepaskan secara spontan seperti loncatan atom elektron dalam tabung katoda. Aura semangat yang terpancar dari jiwa-jiwa muda kami benar-benar membawa kami ke alam lain, alam yang penuh dengan kreatifitas ide dan perjuangan. Mulai dari perjuangan mencari pinjaman kamera, meminta ijin untuk bisa suting di lokasi-lokasi yang telah ditentukan, memberikan pemahaman kepada banyak orang bahwa film indie adalah film dengan budget minim sehingga tidak ada jatah preman untuk lokasi suting, sampai menjadi begadangers di tempat rental komputer demi mengetik naskah skenario-shooting schedule-directors treatment-story board, semuanya penuh perjuangan karena modal kami hanyalah semangat dan ide.

Setelah ‘brainstorming’ ide kami masuk tahap berikutnya yaitu menentukan pemeran atau bahasa perfilmannya ‘casting’. Beuuhhh, saya berasa jadi sutradara sekelas Garin Nugroho pada saat itu dan berhak menentukan siapa yang bisa jadi si A dan si B. Yups, Garin Nugroho adalah sutradara favorit saya. Film-film yang dibuatnya bener-bener berkualitas dan ga ecek-ecek. Sekelas film-film festival di luar negeri lah. Salut buat Garin Nugroho!!
Pada awalnya saya agak malu untuk teriak “Camera roll and ACTION!” – “CUT!” karena saya memang ga punya latar belakang pendidikan sinematografi sama sekali, bahkan melihat langsung proses pembuatan film pun belum pernah jadinya teriakan tadi pada awalnya saya ganti dengan “Oke,kamera siap…. MULAI!” – “SLESAI!” (kok jadinya seperti memimpin orang untuk push-up ya, hahahahaha). Namun para crew dan pemain kok tiba-tiba jadi ilang filing denger perintah tadi ya, sampai ada yang benar-benar komplain ke saya, “Mas, kok rasanya aneh ya? Kaya mimpin pasukan ABRI senam deh, bukan kayak sutradara film.” –hahahaha-- . Akhirnya dengan agak sedikit malu saya pakai juga istilah tadi supaya berasa bikin film gitu deh. “ACTION!!” – “CUT”, and let the journey begins....

Pesan moral : jangan pernah takut untuk bermimpi menjadi apapun karena mimpi itu tidak pernah melihat batasan ruang dan waktu, mimpi hanya melihat semangat kita untuk mengejarnya.

Memulai Dari Nol

Akhir dari suatu perjalanan adalah awal dari sebuah perjalanan baru. Hal itulah yang benar-benar saya yakini dan memang sudah terbukti dalam kehidupan saya. Bermodalkan semangat dan kemauan untuk memperkaya diri dengan segala macam ilmu, saya mengikuti hampir semua ekskul yang ada di SMA dulu. Mulai dari Pramuka (my favorite one), Paskibra, English Club (I was the leader,hehehe...), Pecinta Alam (ga terlalu aktif sih karena yang ada cuman kekerasan fisik, bukannya pelajaran mencintai alam sekitarnya) sampe ke Karya Ilmiah Remaja dan Koran Sekolah (belajar nulis disini nih..). Pokoknya hampir tiap hari nongkrong di sekolah sampe bedug maghrib sama temen-temen. Paling asik pas udah kelas 3, serasa jadi penguasa kecil. Tiap ada junior pasti dikerjain dulu -hehehe. Jadi wartawan sekolah juga asik banget pas ada artis ibukota manggung di pub/kafe sekitar kota, pasti saya yang paling duluan minta supaya saya yang ngeliput. Lumayan bisa nonton konser gratis, cuman modal ID Card wartawan sekolah aja. Bener-bener masa yang ga bisa dilupain di SMA. I miss all of them (my friends, my teachers, the environment, the study -no math!!)

Selepas SMA saya diterima di salah satu perguruan tinggi kedinasan terbaik di negeri ini. Tapi saya udah bisa ngebayangin kelanjutan dari lulusan sini apa. PNS.. Yups, Pegawai Negeri Sipil. Kebayang deh, berangkat kantor siang terus pulangnya juga siang. Di kantor kerjaannya baca koran, minum kopi, kerja bentar liat berkas sana-sini, terus udah deh. Kurang menantang untuk saya yang punya seabrek kegiatan sewaktu SMA, fuuihh....

Tiga bulan pertama kuliah saya merasa otak kanan saya mulai tumpul. Mulai deh saya cari aktifitas tambahan selain kuliah supaya otak kanan saya ga tumpul-tumpul banget. Tapi kok saya ga tertarik banget sama kegiatan ekstra yang ada di kampus waktu itu yah? Tau kenapa, mungkin karena temen-temennya itu mulu, jadi ga berkembang. Entah kesambet angin apa, tiba-tiba saya teringat masa lalu waktu duduk di bangku TK guru saya pernah nanya, "Mau jadi apa kamu?". Anak-anak lain kebanyakan ngejawab dengan jawaban umum, mau jadi dokter lah, pilot, polisi, dsb. Giliran saya ditanya, mau jadi bintang film! dengan pede-nya. Sontak aja sang guru tertawa simpul. Beliau mikir kali ya, nih anak ga sadar kali ya, tampang paspasan n ga da keturunan artis sedikit pun dari DNA keluarganya, eh mau jadi artis. Kecuali punya nenek seperti Titik Puspa ato Titik Kadarsih ato Suzanna, masih mendinglah bisa jual nama.

Singkat cerita saya putusin untuk menggeluti bidang keartisan sebagai pemenuhan gizi atas otak kanan. Tapi bukan sebagai artisnya, saya lebih senang bekerja di balik kamera. Yups, jadi sutradara. Keren kan.. Lebih jadi bos gitu loh. Mulai deh petualangan saya menjalani dua kehidupan yang bertolak belakang. Di satu sisi saya kuliah di tempat yang nantinya menjadikan saya sebagai seorang pegawai negeri dengan suatu keteraturan struktural dan monoton -saya menyebutnya dengan bekerja-, di sisi lain saya memeras otak kanan saya untuk berkreatifitas tiada henti -saya menyebutnya dengan bermain-. Untuk urusan bermain ini saya tidak main-main, saya berhasil membentuk suatu tim kreatif yang isinya orang-orang yang kreatif pula. Kami namakan tim kreatif kami "AMPFI", singkatan dari Angkatan Muda Pembuat Film Independen. (ko jadi kaya angkatan bersenjata gitu ya??). Ampfi membuat saya bener-bener semangat dalam menjalani hari-hari membosankan di kampus.