Berhubung pada saat SMA saya mengambil jurusan IPA yang penuh dengan sains-sains terapan, jadi ide yang keluar untuk proyek film pertama ini ada hubungannya dengan sains juga. Dari judulnya sih ga bakal keliatan hubungannya antara sains dengan sukro, “Sukro Berdarah” (definisi : Sukro = kacang yang dilapisi dengan tepung dan dapat dibeli di seluruh toko-toko di pinggir jalan dan menjadi teman akrab para begadangers untuk diminum bersama dengan kopi). Ide intinya adalah kisah tentang 6 orang sahabat yang memiliki tim detektif sekolah dengan nama De-CHOICE yang menyelidiki kematian salah seorang murid di sekolah tersebut. CHOICE merupakan kependekan dari huruf pertama dari nama mereka masing-masing. Waktu suting film ini memakan waktu 4 hari dan total biayanya sekitar 100 ribuan lah, minim banget kan?
Film ini adalah karya pertama saya yang bermodalkan kenekatan dan semangat untuk menjadi seorang sutradara otodidak. Ide utama film ini adalah seorang siswi yang dibunuh -oya, mengenai pemeran si siswi ini saya punya cerita khusus nanti- oleh sahabatnya dengan cara mengganti isi kacang sukro dengan natrium. For your info, berdasarkan uji coba bahan kimia sewaktu saya di SMA, natrium akan meledak ketika bertemu dengan H2O (air). Jadi idenya si natrium itu dimasukkin ke dalam sukro dan setelah sukro tertelan maka sedikit demi sedikit lapisan luarnya meleleh dan akan meledak di tenggorokan korban. Nah, bingung kan? Ya sebenernya setelah dipikir-pikir sekarang ga masuk akal juga sih, tapi entah kenapa kok dulu ide tersebut terasa sangat 'advanced' n unik ya? --hahahaha--.Maklum baru pertama kali bikin film dan itu pun tanpa punya latar belakang mengenai sinematografi dan sejenisnya. Lucunya, pas mau ambil adegan yang mengharuskan si kamera ini berjalan, saya menggunakan bantuan kursi kantin yang terbuat dari kayu. Si kameramen duduk di atas kursi ini terus saya dan teman-teman yang lain menariknya perlahan-lahan supaya dihasilkan efek 'moving camera'. Malah yang ada hanya suara ngesot kursi kayu ditambah tangkapan gambar yang patah mengikuti irama esotan kursi kayu itu, parah, terpaksa harus take ulang deh.. --hahaha--. Kenapa ya ga nyari kursi yang ada rodanya?? Jadi kan gerakannya bisa lebih smooth 'n ga da bunyi ngek-ngek.
Ada kejadian lucu lagi, karena sang kameramen udah harus balik lagi ke Jogja, jadi suting yang rencananya 5 hari dipangkas jadi 4 hari. Semua adegan di hari ke-5 digabung di hari ke-4. Walhasil, ada adegan yang harusnya diambil di siang hari, tapi karena udah keburu malam, mau ga mau alur cerita harus diubah saat itu juga. Akhirnya cerita yang harusnya siang hari diubah menjadi pagi hari. Pura-puranya jam 5 pagi tuh anak-anak CHOICE udah pada ngumpul di sekolah untuk menyelesaikan penyelidikan mereka. (tapi kok jam 5 pagi ada suara jangkrik gitu ya? bukannya ayam jago berkokok?). Selesai suting untuk adegan tersebut jam 9an malam.
Yang lebih seru lagi pas tahap pasca produksi, disini AMPFI belum punya seorang editor, akhirnya film harus diedit di Surabaya. Kenapa Surabaya? Jadi gini, karena saya masih buta mengenai dunia perfilman akhirnya saya minta bantuan saudara saya yang di Surabaya yang kebetulan adalah seorang kameramen TVRI Surabaya, jadi dia punya banyak kenalan editor. Siapa tau bisa dapet harga lebih murah gitu loh... Dan, eng-ing-eng, saya pun dibawa menuju ke seorang editor film, eh bukan editor acara pernikahan. What?! Yups, film saya diedit di tempat orang biasa mengedit acara pernikahan. Pada mulanya saya pikir akan keren hasilnya, tapi ternyata, ya lumayanlah standar orang edit video pernikahan. Dan akhirnya saat yang dinantikan tiba, gala premiere film indie De-Choice (Sukro Berdarah) --> kaya film jaman dulu ya judulnya? Maklum pengalaman pertama tanpa latar belakang perfilman (mencari pembelaan,hahaha).
Pertama kali melihat preview hasil editan film pertama saya bener-bener ngerasa terharu bahkan sampai menitikkan air mata. Rasanya detik demi detik dari film tersebut adalah masterpiece yang keluar dari aura semangat dan jiwa pantang menyerah segenap tim. Bayangkan kita buat film tapi ga punya kamera, ga punya modal, dan tetek bengek lainnya. Modal dengkul dan semangat serta perasan kreatifitas otak kanan. Film pertama saya berdurasi 30 menit-an. Terlepas dari ide cerita dan hal teknis lainnya, yang bisa saya rasakan disini adalah semangat tak kenal menyerah. Dimana ada kemauan disitu ada jalan.
Suatu saat di kampus saya ada kegiatan yang agak sedikit kreatif, yaitu Festival Film Sehari. Konsepnya nonton beberapa film indie hasil kiriman mahasiswanya dan film layar lebar berjudul "Andai Ia Tahu" dan "Telegram". Nah berhubung disitu ada bau-bau film indie, akhirnya saya mengirimkan De-Choice. Di dalam benak saya akan ada beberapa film indie lainnya jadi saya bisa tukar menukar ilmu, tapi ternyata hanya ada 2 film indie yang masuk dan film indie saya yang paling banyak dikomentari oleh tamu undangan sekaligus pembicara yang berasal dari IKJ. Komentar mereka : " Film pertama kamu ya?" - "Ini ngeditnya di tempat video shooting pernikahan ya?" - bahkan yang lebih parah "Kamu suka telenovela sama film india ya?" --gubrak-- (ketauan deh saya penggemar beratnya Thalia si Maria Mercedes sama Kuch Kuch Hota Hai). Pokoknya semua koreksi, cercaan, dan hinaan yang saya dapat hari itu benar-benar membuat saya untuk mencambuk diri saya lebih kuat lagi!! Pembelaan saya : yaiyalah mereka jago bikin film kan mereka kuliah di IKJ, lah saya kuliah di tempat yang ga da hubungannya sama sekali dengan dunia film.
Belum selesai sampai disitu cerita film pertama saya, dengan penuh keyakinan dan percaya diri, saya ikut sertakan De-Choice di Festival Film Independen Indonesia di SCTV tahun 2003. Pas isi formulir tertulis : Kategori Film (a.Pemula ; b.Profesional). Dengan penuh percaya diri, saya pilih b.Profesional. Alasannya cuma simpel, kalo nanti kalah kan saya kalah terhormat. Kalah di kelas profesional, ya kan? --hahahaha--
Suatu hari kemudian, saya mendapatkan undangan untuk menghadiri malam penganugerahan nominasi FFII 2003 di daerah Gajah Mada-Jakarta. Busyeeettt, seneeeennggnya minta ampuuun!!! (^_^). Sampe di kamar kosan saya loncat-loncatan sama sahabat saya di kosan. Kita berdua jadi HERI (heboh sendiri), sampe anak kosan lain kaget dikira ada apaan. Malahan anak kosan lain pikir saya adalah salah satu pemenangnya, padahal sih boro-boro, diundang ke acara penganugerahannya aja udah seneng banget. Sampe saya berdua sama sahabat saya pergi beli baju khusus untuk datang ke acara itu. Saya beli vest warna biru dongker dipadu dengan kemeja kotak-kotak biru. Mantab kan?! Sepatu pinjem, celana pinjem, ikat pinggang jg pinjem, parfum minta, pokoknya saya harus tampil perfect di acara itu (padahal kan ga menang sama sekali --hahaha--). Sampai di venue, kita berdua isi buku registrasi dan disuruh masuk ke dalam. Di depan ngeliat Rachel Maryam, Christine Hakim, Didi Petet, dan juri lainnya. Sempet diem sebentar tuh, apalagi waktu itu kan si Rachel belum nikah jadi masih boleh lah berharap melirik padaku.
Dan aksi HERI pun terjadi lagi malam itu, berhubung itu acaranya siaran langsung di SCTV jadi saya hubungi semua keluarga yang punya TV untuk liat acara itu. Jadi hampir dari setengah acara itu isinya saya terima telpon mulu dari sanak sodara yang nanyain kapan saya naik ke atas panggung. Padahal dah dibilangin saya cuma duduk di kursi penonton, tetep maksa supaya saya berdiri jadi biar mereka bisa ngeliat saya masuk tipi. Kejadian deh, saya berdiri 'n coba untuk curi-curi kamera sedikit. Sampe ada kru dari SCTV yang bilang supaya saya duduk dengan tenang dan ujung-ujungnya malahan saya dikira banci kamera. --hahahaha-- (nice memory,wasn't it? I miss that momment and I miss my bestfriend).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar